×

Our award-winning reporting has moved

Context provides news and analysis on three of the world’s most critical issues:

climate change, the impact of technology on society, and inclusive economies.

Demam tanam pohon abaikan manfaat pemulihan hutan secara alami untuk perubahan iklim

by Michael Taylor | @MickSTaylor | Thomson Reuters Foundation
Wednesday, 23 September 2020 15:00 GMT

“Penjaga hutan” suku Indian Guajajara berjalan menelusuri hutan untuk mencari pembalak liar di lahan adat Arariboia, tak jauh dari kota Amarante, negara bagian Maranhao, Brazil, 10 September, 2019. Foto diambil 10 September, 2019. REUTERS/Ueslei Marcelino

Image Caption and Rights Information

Banyak negara berkomitmen melaksanakan gerakan menanam pohon. Padahal, iklim bumi jutru akan lebih diuntungkan jika hutan yang telah gundul dibiarkan tumbuh kembali secara alami.

Oleh Michael Taylor

KUALA LUMPUR, 23 September (Thomson Reuters Foundation) – Hutan tropis gundul yang dibiarkan tumbuh kembali secara alami berpotensi menyerap hampir seperempat emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil di seluruh dunia setiap tahunnya, tutur para peneliti Rabu lalu.

Penelitian yang dikomandani oleh lembaga kajian World Resources Institute (WRI) yang berbasis di Amerika Serikat mengamati dan memetakan potensi manfaat pengikatan karbon dengan membiarkan hutan yang telah ditebang agar pulih dengan sendirinya.

Untuk memenuhi komitmen nasional terhadap perubahan iklim, banyak negara akhirnya mencanangkan program penanaman pohon besar-besaran, serta bergabung dalam skema tanam pohon tingkat internasional seperti Bonn Challenge (Tantangan Bonn).

Namun penelitian tersebut menemukan bahwa manfaat lebih besar justru datang apabila sebagian wilayah terdeforestasi di kawasan tropis dibiarkan tumbuh kembali secara alami—langkah yang sebetulnya juga lebih hemat biaya dan menguntungkan satwa liar endemik.

Peneliti WRI mengungkapkan bahwa pendekatan ini dapat menyerap 8,9 miliar metrik ton karbon setiap tahunnya hingga 2050, jauh lebih tinggi dari yang semula diperkirakan.

Angka tersebut belum termasuk serapan karbon oleh hutan yang masih utuh, yang mengikat sekitar 30 persen emisi yang dapat meningkatkan suhu bumi setiap tahunnya, yang sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil.

Menurut Nancy Harris, manajer penelitian Global Forest Watch (GFW)—sistem pengawasan hutan daring yang diwadahi oleh WRI—kunci metode ini adalah mengidentifikasi hutan-hutan mana saja yang dapat tumbuh kembali dan mengikat karbon lebih cepat.”

“Saat ini kami memiliki peta yang mengarahkan fokus ke ‘wilayah tropis karena kawasan ini akan mengikat karbon paling cepat,’” Harris menuturkan kepada Thomson Reuters Foundation. 

Dia menambahkan bahwa wilayah hutan gundul yang memiliki potensi pengikatan karbon terbesar jika dibiarkan tumbuh kembali berada di Brazil, Indonesia, Liberia, serta beberapa negara lainnya. 

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hutan muda di Eropa Tengah dan Timur Tengah memiliki laju penyerapan karbon dari atmosfer paling rendah.

Pada 2019, hutan hujan tropis—yang pelestariannya dinilai sangat penting untuk meredam perubahan iklim— mengalami kemusnahan seluas setara lapangan bola setiap enam detik, menurut GFW.

Aktivis lingkungan mengatakan bahwa melindungi hutan dan memulihkan kawasan yang telah rusak dapat mengurangi risiko banjir, membantu menekan pemanasan global dengan mengikat lebih banyak karbon, dan menjaga keanekaragaman hayati.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature tersebut mengamati kawasan hutan tropis yang telah ditebangi dan tidak digunakan, tetapi tidak dapat dikembalikan ke kondisi semula karena kegiatan seperti pembalakan dan pertanian sporadis.

Peneliti GFW David Gibbs menjelaskan bahwa di beberapa wilayah di kawasan tropis, lahan semacam ini dapat dimanfaatkan dengan cara memberi insentif bagi penduduk lokal yang membantu proses pemulihan kembali hutan gundul.

“Selama ini pertumbuhan kembali hutan secara alami mungkin belum diapresiasi sepenuhnya sebagai solusi alami terhadap perubahan iklim,” dia menambahkan.

Harris mengingatkan bahwa solusi semacam ini hanyalah “satu dari sekian banyak alat” untuk menangani perubahan iklim.

“Mengurangi penggunaan bahan bakar fosil juga merupakan aspek sangat penting untuk menanggulangi keseluruhan masalah ini,” katanya.

 

Artikel terkait:

No let-up in global rainforest loss as coronavirus brings new danger

As fog clears on benefits of forest protection, excuses for failure wear thin 

Global reforestation drive grows fast as governments grasp benefits 

(Liputan oleh Michael Taylor @MickSTaylor; disunting oleh Megan Rowling. Dalam mengutip harap sebutkan Thomson Reuters Foundation, divisi nirlaba Thomson Reuters, yang mengangkat kehidupan orang-orang di berbagai penjuru dunia yang berjuang untuk hidup bebas dan adil. Kunjungi kami di: http://news.trust.org)

Our Standards: The Thomson Reuters Trust Principles.

-->