×

Our award-winning reporting has moved

Context provides news and analysis on three of the world’s most critical issues:

climate change, the impact of technology on society, and inclusive economies.

Solar ‘ramah lingkungan’ berbasis sawit ancaman bagi hutan Indonesia

by Michael Taylor | @MickSTaylor | Thomson Reuters Foundation
Thursday, 4 February 2021 00:01 GMT

FILE FOTO: Seorang lelaki memandu truk pengangkut kepala sawit di jalan rusak di desa Mesuji Raya di Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, 11 Januari, 2017. Antara Foto/Budi Candra Setya/ via REUTERS

Image Caption and Rights Information

Di tengah upaya menuju penggunaan bahan bakar biodiesel 100 persen, pemerhati lingkungan mengkhawatirkan kemungkinan pemusnahan hutan tropis untuk perluasan perkebunan sawit.

* Pemerintah naikkan kandungan minyak sawit dalam biodiesel

* Target 100 persen biodiesel dapat mendongkrak kebutuhan minyak sawit

* Muncul seruan perpanjangan larangan pembukaan perkebunan sawit baru

Oleh Michael Taylor

KUALA LUMPUR, 4 Februari (Thomson Reuters Foundation) – Program biodiesel ambisius pemerintah akan meningkatkan risiko deforestasi akibat pembukaan hutan tropis untuk perkebunan kelapa sawit, tutur para pemerhati lingkungan. Mereka mendesak para pembuat kebijakan untuk memperpanjang larangan pembukaan perkebunan sawit baru.

Indonesia, negara dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia dan produsen minyak sawit terbesar, secara berterusan sejak 2018 menambah porsi kandungan minyak sawit dalam biodiesel untuk mendongkrak permintaan.

Dalam upaya menekan impor bahan bakar yang menguras anggaran, sekaligus menurunkan emisi yang meningkatkan suhu bumi, pemerintah telah menaikkan kandungan minyak nabati dalam biodiesel menjadi 30 persen pada akhir 2019 dari 20 persen di tahun sebelumnya, sementara komponen selebihnya tetap terdiri atas bahan bakar fosil.

Presiden Joko Widodo telah menetapkan target bahwa biodiesel harus sepenuhnya terbuat dari minyak sawit. Namun target ini tidak disertai tenggat yang pasti dalam hal penerapan secara luas, karena mensyaratkan modifikasi terhadap mesin-mesin yang menggunakan biodiesel.

PT Pertamina bulan lalu menguji coba bahan bakar yang dijuluki Solar Hijau atau “solar ramah lingkungan,” setelah melakukan tes dengan bahan bakar jet tahun lalu.

Yuyun Harmono, juru kampanye isu keadilan iklim Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), mengatakan belum ada lahan tambahan yang digunakan untuk produksi minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel. Tetapi hal tersebut dapat terjadi di kemudian hari dan menimbulkan ancaman lebih lanjut terhadap hutan.

“Jika kebutuhan bahan bakar naik, kebutuhan bahan bakar nabati juga akan meningkat… Tentu saja akan ada risiko [deforestasi],” Yuyun mengatakan kepada Thomson Reuters Foundation.

Indonesia tercatat sebagai salah satu dari tiga besar negara dengan kerusakan hutan hujan terparah pada 2019, menurut Global Forest Watch, sebuah layanan pengawasan hutan yang menggunakan data satelit.

Minyak sawit yang banyak digunakan dalam produksi kosmetik, pangan dan bahan bakar nabati di seluruh dunia, menjadi sorotan aktivis lingkungan dan konsumen. Mereka menuding industri komoditas ini sebagai biang keladi musnahnya hutan, kebakaran dan eksploitasi pekerja.

Menanggapi tuduhan tersebut, lembaga pengawas industri Roundtable on Sustainable Palm Oil telah memperketat aturannya pada akhir 2018 dengan memberlakukan larangan pembukaan hutan dan konversi lahan gambut untuk perkebunan sawit.

Juru kampanye WALHI Harmono mengatakan, biodiesel seharusnya tidak dipandang sebagai pengganti bahan bakar fosil. Penggunaan kedua bahan bakar ini semestinya diturunkan, katanya, mengulang pernyataan yang dikeluarkan kelompok lingkungan yang bulan lalu mendesak pemerintah untuk lebih ambisius dalam upaya memangkas emisi karbon.

Harmono mencatat bahwa sejak 2018, penggunaan biodiesel diwajibkan untuk kendaraan milik pribadi dan perusahaan.

“Porsi [minyak nabati] hanya 30 persen sekarang, tetapi ketika kebutuhan meningkat, kebutuhan minyak sawit juga akan melonjak,” dia menambahkan.

ANCAMAN SERIUS

Produksi biodiesel di Indonesia menggunakan lebih dari 7 juta ton dari total 41.4 juta ton minyak sawit yang dihasilkan di tingkat nasional. Angka ini menunjukkan kenaikan dari 1,4 juta ton pada 2015 menurut lembaga konsultasi LMC International.

Malaysia, negara penghasil minyak sawit terbesar kedua di dunia, menggunakan sekitar 880.000 ton minyak sawit untuk produksi biodiesel pada 2020, naik dari 600.000 ton pada 2015.

“Indonesia berhasil mencapai pertumbuhan yang sangat mengesankan dalam produksi biodiesel selama lima tahun terakhir,” kata Julian McGill, kepala divisi Asia Tenggara LMC International.

“Keberhasilan Indonesia dalam mempertahankan produksi biodiesel merupakan faktor penentu yang menyebabkan persediaan berada di titik rendah sementara harga melambung. Kondisi inilah yang dinikmati industri saat ini.”

Anjloknya harga minyak mentah akibat kebutuhan yang merosot di masa pandemi virus corona telah menjadikan program biodiesel Indonesia tak lagi ekonomis. Di sisi lain, rencana menaikkan kandungan minyak nabati dalam biodiesel menjadi 40 persen juga telah ditunda.

Meski industri minyak sawit khawatir akan biaya kebijakan biodiesel Indonesia, yang didanai dari pajak ekspor minyak sawit, pemerintah tampaknya akan tetap mempertahankan penggunaan bahan bakar nabati sebagai pengganti solar impor, McGill menambahkan.

Ricky Amukti dari lembaga advokasi iklim dan kebijakan energi Traction Energy Asia mengatakan bahwa produsen minyak sawit independen berskala kecil belum meraup keuntungan dari program biodiesel. Penyebabnya adalah tekanan harga dari para tengkulak dan pengusaha perkebunan berskala lebih besar.

Tujuan jangka panjang bahwa biodiesel terbuat 100 persen dari minyak sawit juga akan meningkatkan kompetisi pengadaan komoditas ini. Antara minyak sawit untuk prodiksi makanan dan kosmetik versus untuk bahan bakar, Amukti menambahkan.

“Kompetisi ini berpotensi membahayakan hutan Indonesia yang masih tersisa, terutama di Papua, seiring peningkatan signifikan dalam kebutuhan minyak sawit,” katanya.

Menteri energi dan sumber daya mineral memperkirakan bahwa 15 juta hektar perkebunan sawit baru dibutuhkan untuk mencapai target nasional biodiesel, menurut laporan media akhir tahun lalu.

Program biodiesel Indonesia adalah “ancaman serius terhadap hutan hujan yang akan dibuka sebagai lahan perkebunan baru,” demikian peringatan Gemma Tillack, direktur kebijakan kehutanan pada kelompok pemerhati lingkungan Rainforest Action Network (RAN) yang berbasis di Amerika Serikat.

ALTERNATIF MINYAK GORENG?

Pada September 2018, Presiden Joko Widodo memberlakukan larangan izin pembukaan perkebunan sawit selama tiga tahun dalam upaya menanggulangi kebakaran hutan dan melindungi hutan tropis pengikat karbon, yang dinilai sangat penting dalam memerangi perubahan iklim di tingkat global.

Juru kampanye WALHI Harmono menyatakan larangan tersebut harus diperpanjang. Dengan demikian, kenaikan kebutuhan minyak sawit untuk biodiesel harus dipenuhi dengan meningkatkan hasil panen dan bukan dengan pembukaan perkebunan baru.

Pemerintah juga harus memusatkan perhatian pada pengembangan dan promosi kendaraan bertenaga listrik yang bersumber dari energi terbarukan, Harmono menambahkan.

Untuk semakin menurunkan risiko deforestasi, Amukti dari Traction Energy mengatakan produsen biodiesel dapat membeli dari pengusaha minyak sawit skala kecil untuk mengurangi risiko konversi lahan dan meningkatkan transparensi rantai pasok.

Penggunaan minyak jelantah—yang kebanyakan dibuang begitu saja ke selokan—sebagai komponen pelengkap biodiesel, juga dapat dilakukan. Praktik semacam ini dapat menekan ancaman deforestasi akibat penanaman kelapa sawit secara lebih luas.

“Biodiesel yang mengakibatkan deforestasi bukanlah bahan bakar ramah lingkungan,” direktur kebijakan RAN  Tillack mengatakan. “Seiring semakin parahnya krisis iklim, kita tidak dapat mengabaikan naiknya kebutuhan dan penggunaan minyak sawit hasil deforestasi dalam produksi biodiesel.”

Artikel terkait:

Indonesian presidential hopefuls vow energy self-sufficiency via palm 

Indonesia bets big on biodiesel to limit costs of oil imports

As floods hit Borneo, Indonesia urged to boost climate action under Paris accord 

 

(Liputan oleh Michael Taylor @MickSTaylor; disunting oleh Megan Rowling. Dalam mengutip harap sebutkan Thomson Reuters Foundation, divisi nirlaba Thomson Reuters, yang mengangkat kehidupan orang-orang di berbagai penjuru dunia yang berjuang untuk hidup bebas dan adil. Kunjungi kami di: http://news.trust.org)

Our Standards: The Thomson Reuters Trust Principles.

-->