Para pengkritik menilai upaya regional untuk menangani kabut asap tahunan akibat kebakaran lahan minim hasil. Mereka mendesak masing-masing negara untuk mengambil tindakan nyata.
Oleh Michael Taylor
KUALA LUMPUR, 7 Agustus (Thomson Reuters Foundation) – Keputusan Malaysia untuk tidak menerapkan undang-undang yang dapat menindak perusahaan penyebab kebakaran hutan menutup peluang menghentikan kabut asap yang setiap tahunnya merundung Asia Tenggara dan menyebabkan konflik diplomasi, pakar kebijakan mengatakan Jumat lalu.
Tahun lalu, pejabat Indonesia dan Malaysia saling menyalahkan soal kabut asap yang membahayakan tersebut. Menteri lingkungan hidup Malaysia saat itu kemudian mengungkapkan komitmen untuk menyusun undang-undang yang akan menindak pelaku bisnis dan individu atas terjadinya polusi di lahan yang mereka kelola di luar negeri.
Namun setelah berbulan-bulan berkonsultasi dengan kelompok lingkungan, pemerintah Malaysia membatalkan rancangan undang-undang tersebut minggu lalu. Menurut laporan dari berbagai media di Malaysia, negeri jiran tersebut memilih pendekatan regional untuk menangani masalah kabut asap.
Helena Varkkey dosen University of Malaya di Kuala Lumpur yang telah meneliti masalah kabut asap selama lebih dari 15 tahun mengatakan bahwa pembatalan tersebut adalah “peluang yang terlewatkan.”
“Selama bertahun-tahun, saling tuding terjadi antara pemerintah Indonesia dan perusahaan Malaysia,” Varkkey mengatakan kepada Thomson Reuters Foundation.
Rancangan undang-undang yang batal dilanjutkan itu sebetulnya dapat menetralkan situasi saling tuduh tersebut. Melalui undang-undang itu, Malaysia seharusnya dapat membuktikan bahwa pemerintah telah memainkan perannya lewat penerbitan regulasi perusahaan, sehingga dapat ditiru negara lainnya.
Indonesia dan negara tetangga di Asia Tenggara kerap dilanda kabut asap tebal dari pembabatan serta pembakaran lahan dan hutan untuk produksi minyak sawit dan pertanian. Kabut asap tersebut mengakibatkan kematian dini, infeksi pernapasan serta penutupan sekolah dan bandar udara.
Menurut data Bank Dunia dan data pemerintah Indonesia, kebakaran yang biasanya terjadi pada Juni hingga Oktober tersebut merusak lebih dari 942.000 hektar hutan dan lahan, serta mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar 5,2 miliar dolar AS.
Di berbagai liputan media, menteri lingkungan hidup Malaysia menyatakan bahwa undang-undang serupa yang menyasar perusahaan dan diterapkan di Singapura secara garis besar tidak terbukti efektif. Menteri lingkungan hidup Malaysia tidak merespon ketika dihubungi Thomson Reuters Foundation untuk dimintai tanggapan.
Namun pakar kehutanan mengatakan undang-undang Polusi Kabut Asap Lintas Batas Singapura 2014 berdampak tidak signifikan karena kurangnya pemetaan dan dukungan dari pihak berwenang di Indonesia.
Tidak seperti undang-undang di negeri singa tersebut—yang memungkinkan entitas mana pun terkena konsekuensi hukum—undang-undang yang dirancang Malaysia bertujuan menuntut tanggung jawab perusahaan dalam negeri Malaysia dengan “mengumumkan dan mempermalukan mereka,” ungkap Varkkey.
“Jika undang-undang Malaysia ini khusus menyasar perusahaan Malaysia, Indonesia tentunya akan memiliki pandangan berbeda. Indonesia semestinya akan bersedia bekerja sama dan berbagi informasi [dan] bukti-bukti,” katanya.
Asosiasi Sawit Malaysia yang mewakili perusahaan-perusahaan perkebunan menolak memberikan tanggapan.
'ASEAN WAY'
Akhir tahun lalu, pejabat lingkungan hidup dari kesepuluh negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) berjanji untuk bekerja sama mencapai kawasan bebas kabut asap pada 2020.
Namun mereka tidak menyampaikan detail langkah yang akan diambil, selain upaya mempercepat pembentukan pusat koordinasi di tingkat ASEAN.
Meski telah ada komitmen bersama, bulan lalu Provinsi Kalimantan Tengah menyatakan keadaan darurat setelah mengidentifikasi lebih dari 700 kebakaran.
Faizal Parish, direktur lembaga nirlaba Global Environment Centre di Malaysia yang telah bergelut di bidang pengelolaan gambut berkelanjutan, pencegahan kebakaran dan kabut asap lintas batas selama 30 tahun, yakin bahwa keputusan Malaysia untuk memilih pendekatan regional sudah tepat.
Penerapan rancangan undang-undang di atas dapat mengganggu aksi bilateral dan regional yang mulai menunjukkan kemajuan, tutur Parish yang bekerja dengan sekretariat ASEAN dan negara-negara anggota.
Malaysia harus berupaya memperbaiki pengelolaan gambut dan pencegahan kebakaran di dalam negeri, seiring bertambahnya titik api di beberapa negara bagian, seraya mendorong kolaborasi dan dukungan bagi Indonesia dalam beberapa aspek, katanya.
Pihak lain menyatakan ASEAN bertindak terlalu lamban dalam menangani kebakaran dan kabut asap.
“Tidak diragukan lagi diplomasi ala ASEAN telah gagal menyelesaikan masalah kabut asap beracun ini,” kata Kiu Jia Yaw, pengacara bidang lingkungan terkemuka di Malaysia.
Alih-alih berfokus pada diplomasi dan kerja sama politik, dia mendesak ASEAN untuk menerapkan mekanisme dan institusi legal untuk melawan kabut asap. Di saat yang sama, masing-masing negara harus memberlakukan undang-undang timbal balik untuk mengontrol pembuat polusi di negaranya, dia menambahkan.
“ASEAN way [cara ASEAN], di mana pemerintah negara-negara ASEAN bertindak dengan prinsip tanpa interferensi hanya akan memastikan kita tidak akan pernah mendapatkan akuntabilitas,” katanya.
Artikel terkait:
Will coronavirus fan the flames of Southeast Asia's haze problem?
SE Asia urged to cooperate on taking firms to task over fire haze
(Liputan oleh Michael Taylor @MickSTaylor; disunting oleh Megan Rowling. Dalam mengutip harap sebutkan Thomson Reuters Foundation, divisi nirlaba Thomson Reuters yang mengangkat kehidupan orang-orang di berbagai penjuru dunia yang berjuang untuk hidup bebas dan adil. Kunjungi kami di: http://news.trust.org)
Our Standards: The Thomson Reuters Trust Principles.