×

Our award-winning reporting has moved

Context provides news and analysis on three of the world’s most critical issues:

climate change, the impact of technology on society, and inclusive economies.

ANALYSIS-Mampukah merek-merek global menghindari greenwashing melalui rencana baru penyelamatan hutan?

by Michael Taylor | @MickSTaylor | Thomson Reuters Foundation
Friday, 25 September 2020 10:00 GMT

Seorang pekerja mengangkat buah sawit di Tanjung Karang, Malaysia 14 Agustus, 2020. REUTERS/Lim Huey Teng

Image Caption and Rights Information

Setelah terlewat tenggat untuk memiliki rantai pasok yang bebas deforestasi pada 2020, sebuah koalisi multinasional akan mengembangkan roadmap baru untuk setiap komoditas. Organisasi pemerhati lingkungan mengingatkan, waktu yang tersisa tak banyak lagi.

Oleh Michael Taylor

KUALA LUMPUR, 25 September (Thomson Reuters Foundation) – Strategi baru produsen merek rumah tangga internasional dalam melawan perusakan hutan tropis harus lebih memperhitungkan upaya pengurangan deforestasi di keseluruhan rantai pasoknya, jika mereka tak ingin gagal lagi, pemerhati lingkungan memperingatkan.

Produsen kelas kakap yang tergabung dalam Consumer Goods Forum (CGF) minggu ini meluncurkan “Forest Positive Coalition of Action (Koalisi Aksi Positif Untuk Hutan),” yang berkomitmen mempercepat upaya penghentian perusakan hutan pada rantai pasok komoditas utama. Inisiatif tersebut dilakukan sebagai langkah untuk meredam perubahan iklim.

Namun peluncuran koalisi tersebut ditanggapi skeptis oleh kelompok-kelompok lingkungan. Hal itu dikarenakan CGF yang berbasis di Paris tersebut terbukti kesulitan memenuhi target yang ditetapkan sepuluh tahun lalu untuk membeli komoditas yang diproduksi secara berkelanjutan, termasuk minyak sawit, kedelai, daging sapi, kertas dan bubur kertas (pulp).

“Kami menyaksikan sepuluh tahun berlalu tanpa tindakan, aksi setengah-setengah, dan greenwashing dari CGF, sementara pejuang hak asasi manusia dan komunitas garis depan bertaruh nyawa untuk melindungi hutan,” tutur Brihannala Morgan, juru kampanye senior organisasi lingkungan hidup Rainforest Action Network yang berbasis di Amerika Serikat.

Greenwashing adalah strategi pemasaran untuk memberi kesan bahwa suatu produk sudah ramah lingkungan. 

“Waktu yang tersisa untuk mengambil tindakan konkret semakin sempit,” dia menambahkan dalam pernyataan tertulis.

Pada 2019, hutan hujan tropis—yang keterlindungannya dinilai sangat penting untuk menekan pemanasan suhu bumi—musnah seluas setara satu lapangan sepak bola per enam detik, menurut data dari layanan pengawasan hutan daring Global Forest Watch.

Organisasi lingkungan menuding produksi minyak sawit, yaitu minyak pangan yang paling banyak digunakan di dunia, selain komoditas pertanian lainnya, sebagai penyebab kerusakan hutan seiring terjadinya penggundulan untuk perkebunan, peternakan, dan lahan pertanian.

Total 17 merek produk rumah tangga, perusahaan retail dan manufaktur dengan nilai pasar total sebesar 1,8 triliun dolar AS, tergabung dalam koalisi hutan yang baru tersebut. Termasuk di antaranya Carrefour, Walmart, General Mills, Mars, Nestle, Unilever dan PepsiCo.

Di bawah kepemimpinan direktur utama masing-masing perusahaan, kelompok ini bertekad untuk menghilangkan faktor deforestasi dalam rantai pasoknya, serta menyusun rencana best practice untuk setiap komoditas.

Pemerhati lingkungan mengatakan melindungi hutan, serta memulihkan yang telah rusak dapat mengurangi risiko banjir, meredam pemanasan global dengan mengikat karbon dan menjaga keanekaragaman hayati.

“Para pimpinan perusahaan yang tergabung dalam CGF tersebut hidup di planet yang sama dengan kita semua, dan kita menghadapi darurat iklim yang sama,” kata Morgan.

Direktur program kehutanan Friends of the Earth US Jeff Conant mengatakan agribisnis dan produsen produk rumah tangga memberikan “janji-janji kosong selama satu dekade seraya terus meraup keuntungan dari kehancuran yang terjadi,” seiring munculnya kebakaran lahan dan topan badai yang menghantam bumi yang semakin panas.

“Jika kita tidak melihat adanya aksi konkret, dapat dipastikan bahwa pernyataan CGF [bahwa koalisi ini] ‘untuk hutan’ hanyalah greenwash semata,” Conant menambahkan.

 

EVOLUSI BUKAN REVOLUSI

CGF, organisasi yang didanai anggotanya sendiri, berupaya memberikan solusi untuk tantangan-tantangan besar yang mereka tak mampu atasi sendiri, termasuk deforestasi dan kerja paksa.

Akhir tahun lalu kelompok ini menyatakan bahwa meskipun telah ada kemajuan dalam komitmen tak mengikat untuk menghentikan deforestasi pada 2020, penekanan berlebihan pada sertifikasi hijau gagal menjadikan rantai pasok yang keberlanjutan sebagai norma baru.

Banyak perusahaan mengucurkan investasi untuk menjamin bahwa material yang mereka gunakan mendapat sertifikasi keberlanjutan, termasuk teknologi semacam radar, aplikasi telepon dan pencitraan satelit untuk mendeteksi problem yang muncul dan sesegera mungkin menanggulanginya.

Beberapa perusahaan memberlakukan aturan keras dan menghentikan kerja sama dengan pemasok yang membuka hutan. Perusahaan lainnya bekerja sama dengan kelompok lingkungan untuk membantu petani kecil memperbaiki praktik kerjanya.

Tetapi pemetaan dan perunutan rantai pasok dari petani ke piring konsumen nyatanya penuh tantangan, apalagi jika komoditas tersebut dihasilkan petani kecil di pedesaan terpencil.

Direktur keberlanjutan sosial CGF Didier Bergeret menyatakan forum tersebut tidak akan terburu-buru menetapkan batas waktu, tetapi perusahaan yang ingin bergerak lebih cepat dapat memimpin di depan, diikuti anggota yang lain kemudian.

“Saya bahkan tidak akan menyebut rencana ini revolusioner—sebaliknya, ini hanya evolusi dalam bagaimana kami melakukan berbagai hal, dengan berupaya memastikan kami telah belajar dari pengalaman,” Bergeret mengatakan kepada Thomson Reuters Foundation.

 Dia menambahkan roadmap komoditas yang tengah disiapkan akan memuat indikator kinerja yang sejalan dengan sasaran global pembangunan berkelanjutan, dengan masukan dari kelompok lingkungan dan organisasi masyarakat sipil lainnya.  

Bergeret menyatakan pertemuan rutin akan diadakan untuk mengecek kemajuan, termasuk lokakarya bagi direktur utama perusahaan anggota CGF, dengan tujuan menjalankan roadmap selama dua hingga tiga tahun ke depan.

Kegagalan mencapai target 2020 “tidak menghentikan kami untuk terus meyakini bahwa aksi nyata masih dibutuhkan,” katanya.

Kerangka baru ini diharapkan akan “efektif untuk memperbaiki [praktik] yang salah sebelumnya, sambil terus melanjutkan langkah yang sudah tepat,” Bergeret mengatakan.

Dengan bergabung dalam koalisi, setiap perusahaan berkomitmen mengimplementasikan roadmap untuk minyak sawit, kedelai, kertas, bubur kertas dan kemasan berbasis serat dalam rantai pasoknya, dia menambahkan.

CGF mengatakan seluruh anggotanya akan bekerja sama dengan pemasok, pedagang dan pemerintah di negara produsen dan pengimpor untuk mendorong diberlakukannya langkah-langkah penyelamatan hutan.

“Kami yakin perlindungan hutan adalah motor penggerak pertumbuhan ekonomi, dan bukan tumbal dari pertumbuhan,” kata direktur utama Mars Grant Reid dalam sebuah pernyataan. Perlindungan hutan “membuahkan ekosistem yang sehat dan mendukung lanskap produktif, serta komunitas yang tangguh.”

 

Artikel terkait:

Brands urged to think bigger on saving forests as 2020 goal looms

Can global corporations meet 2020 no-deforestation pledge? 

Cargill says food industry will miss zero deforestation goal

The Dutch businessman on a mission to unite companies over climate change

 

(Liputan oleh Michael Taylor @MickSTaylor; disunting oleh Megan Rowling. Dalam mengutip harap sebutkan Thomson Reuters Foundation, divisi nirlaba Thomson Reuters, yang mengangkat kehidupan orang-orang di berbagai penjuru dunia yang berjuang untuk hidup bebas dan adil. Kunjungi kami di: http://news.trust.org)

Our Standards: The Thomson Reuters Trust Principles.

-->