×

Our award-winning reporting has moved

Context provides news and analysis on three of the world’s most critical issues:

climate change, the impact of technology on society, and inclusive economies.

Biden didesak gandeng industri dan Cina untuk lindungi hutan hujan Asia Tenggara

by Michael Taylor | @MickSTaylor | Thomson Reuters Foundation
Monday, 16 November 2020 13:00 GMT

Perkebunan kelapa sawit tampak terbentang bersebelahan dengan kawasan hutan terbakar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 29 September, 2019. REUTERS/Willy Kurniawan

Image Caption and Rights Information

Kelompok lingkungan mendesak presiden terpilih Amerika Serikat (AS) tersebut untuk mengikuti langkah Inggris dan Uni Eropa yang menjamin rantai pasok produk impornya tidak membahayakan hutan tropis.

Oleh Michael Taylor

 

KUALA LUMPUR, 16 November (Thomson Reuters Foundation) – Presiden terpilih AS Joe Biden harus melarang impor dan kucuran dana untuk komoditas yang tersangkut penebangan hutan di Asia Pasifik, sembari melibatkan kawasan tersebut--termasuk Cina--untuk memberi insentif kepada negara-negara yang berupaya menanggulangi penebangan hutan ilegal, tutur para pegiat lingkungan.

Terpilihnya Biden sebagai kepala negara AS untuk periode mendatang, menggantikan Donald Trump yang skeptis terhadap perubahan iklim, membangkitkan harapan bahwa pemerintah AS akan memberi perhatian lebih terhadap perlindungan hutan hujan di Asia Tenggara, yang dinilai penting sebagai benteng terhadap pemanasan global.

“Sebagian besar karet, gula, beras dan minyak sawit dari Asia Tenggara yang menyebabkan penggundulan hutan saat ini mengalir ke pasar ekspor,” ungkap Kerstin Canby, direktur senior Forest Trends, sebuah lembaga nirlaba yang berbasis di AS.

“Walaupun kami tidak bermaksud membatasi negara-negara di Asia Tenggara untuk memanfaatkan lahan secara bertanggung jawab dalam pembangunan ekonomi mereka, kenyataannya, banyak pembukaan lahan ini dilakukan secara ilegal,” dia menambahkan.

Pada 2019, hutan hujan tropis—yang kelestariannya dinilai sangat penting untuk menahan pemanasan global—seukuran lapangan sepak bola musnah setiap detiknya, papar data layanan pengawasan hutan daring Global Forest Watch.

Kelompok pemerhati lingkungan menuding produksi minyak sawit, minyak pangan yang paling banyak digunakan di dunia, serta komoditas pertanian lain, sebagai penyebab utama musnahnya hutan tersebut. Kebanyakan kerusakan hutan yang merupakan kawasan pengikat karbon ini terjadi karena pembukaan lahan untuk perkebunan, peternakan dan pertanian.

Untuk menanggulangi masalah ini, Inggris dan Uni Eropa telah bergerak untuk memperketat pengawasan rantai pasok.

Canby mendesak Biden untuk mengambil langkah yang sama pasca serah terima jabatan, dengan bekerja sama dengan Parlemen AS untuk mengeluarkan regulasi yang mengatur impor AS atas komoditas yang bersumber dari lahan yang dibuka secara ilegal.

Jika gagal, Biden harus mempertimbangkan langkah-langkah lain yang dapat diambil oleh pemerintahannya, dia menambahkan.

David Ganz, direktur eksekutif lembaga kehutanan nirlaba RECOFTC yang berbasis di Bangkok, mengatakan bahwa jika Biden mengambil langkah untuk membuat industri lebih ramah lingkungan melalui perubahan perilaku pemasok dan konsumen, pemerintah negara-negara di Asia akan terdorong untuk menetapkan target iklim yang lebih ambisius.

“Jika AS benar-benar menyikapi perubahan iklim sebagaimana yang Biden sampaikan… ini akan menimbulkan trickle down effect yang masif di kawasan yang sering meniru langkah AS atau Cina,” katanya.

 

TRANSPARANSI PERDAGANGAN

Biden berjanji untuk bergabung kembali dengan Perjanjian Paris untuk perubahan iklim dan menginvestasikan 2 triliun dolar AS untuk mulai membatasi penggunaan bahan bakar fosil di Negeri Paman Sam itu. Meski demikian dia belum menjelaskan detail strateginya menyangkut Cina.

Berbagai indikasi mengisyaratkan Biden akan melanjutkan pendekatan tegas terhadap Cina, sementara Pemerintahan Trump mengambil sikap yang semakin konfrontatif terhadap Cina dalam tahun terakhir masa jabatannya.

Frances Seymour, ilmuwan terkemuka di World Resources Institute yang berbasis di AS, menyatakan bahwa selain memberi insentif kepada negara penghasil komoditas di Asia Tenggara untuk menghapus deforestasi dari rantai pasok global, Biden juga harus menggandeng Cina dan negara konsumen utama lainnya.

Langkah tersebut akan memberikan sinyal negatif pada pasar produk impor yang tersangkut pembukaan hutan ilegal, sekaligus memberi insentif positif bagi komoditas yang diproduksi secara berkelanjutan, kata Seymour.

“Jika AS, Eropa dan Australia menetapkan aturan tersebut tetapi negara lain tidak, kita akan melihat terjadinya percabangan pasar: produk baik [untuk pelestarian hutan] mengalir ke AS dan Eropa, produk buruk ke Cina, India dll,” tutur Canby dari Forest Trends.

Strategi Biden untuk mengatasi perubahan iklim dan musnahnya keanekaragaman hayati harus memiliki pendekatan global terhadap isu-isu terkait hutan hujan tropis yang diidentifikasi sebagai penyebab deforestasi lintas kawasan, ujar Diana Ruiz, juru kampanye isu hutan Greenpeace AS.

“AS harus menjadikan transparansi dan pengawasan rantai pasok sebagai syarat perdagangan dan keuangan,” Ruiz mengatakan.

“Hal ini dimulai dengan penerapan regulasi uji tuntas yang lebih ketat dan mengharuskan pemodal dan pengimpor untuk membuktikan bahwa produk yang masuk ke AS tidak tersangkut deforestasi atau pelanggaran hak asasi manusia.”

 

Artikel terkait:

Indigenous leaders count on Biden to help save Amazon forest from 'brink of collapse'

Nearly a third of Indonesia forest fires are in pulp, palm areas - Greenpeace 

Forests overlooked as allies in global poverty fight, scientists say 

 

(Liputan oleh Michael Taylor @MickSTaylor; disunting oleh Megan Rowling. Dalam mengutip harap sebutkan Thomson Reuters Foundation, divisi nirlaba Thomson Reuters, yang mengangkat kehidupan orang-orang di berbagai penjuru dunia yang berjuang untuk hidup bebas dan adil. Kunjungi kami di: http://news.trust.org)

Our Standards: The Thomson Reuters Trust Principles.

-->