×

Our award-winning reporting has moved

Context provides news and analysis on three of the world’s most critical issues:

climate change, the impact of technology on society, and inclusive economies.

Sensor kanopi rekam suara di hutan untuk hentikan pembalakan liar

by Harry Jacques | Thomson Reuters Foundation
Thursday, 11 February 2021 01:00 GMT

Topher White memeriksa sensor audio Rainforest Connection yang dirancang untuk mendeteksi suara gergaji mesin di Sirukam, Provinsi Sumatra Barat, 12 Desember, 2020. Thomson Reuters Foundation/Harry Jacques

Image Caption and Rights Information

Memanfaatkan kecerdasan buatan (AI), sensor audio digunakan untuk mendeteksi suara gergaji mesin di hutan. Sensor tersebut dapat membantu aparat membekuk pelaku penebangan liar.

* Sistem sensor menangkap suara gergaji mesin untuk menghentikan pembalak

* Pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap perambah hutan

* Beberapa mantan pembalak liar mengklaim perlindungan hutan merugikan mata pencarian mereka

Oleh Harry Jacques

SOLOK, Indonesia, 11 Februari (Thomson Reuters Foundation)—Bergelantung di tali berpengaman karabiner, Topher White memanjat pepohonan tinggi yang berayun-ayun ditiup angin. White akhirnya sampai juga di puncak hutan hujan tropis, di sana dia membuka laptopnya dan mengecek mesin buatannya. Mesin itu dapat mengirimkan suara secara langsung selama 24 jam dari hutan sekitarnya.

Mesin tersebut adalah satu dari 27 sensor “Guardian” (penjaga) yang terpasang di hutan-hutan di Sumatra Barat. Fungsinya, untuk mendeteksi suara gergaji mesin sebagai upaya menanggulangi pembalakan liar di provinsi itu.

Dalam lima hingga enam tahun ke depan, White berharap dapat memasang puluhan ribu sensor audio tersebut di hutan-hutan di seluruh dunia.

“Pada dasarnya kita sedang membangun jaringan saraf di alam liar,” katanya.

White, 39 tahun, mendapat gagasan untuk memanfaatkan detektor suara untuk perlindungan lingkungan sepuluh tahun lalu, ketika dia menjadi relawan di proyek konservasi siamang di Kalimantan.

“Kita tidak bisa benar-benar memonitor [perlindungan hutan] dengan orang lalu lalang. Tetapi suara sepertinya bisa menjadi cara yang tepat untuk menangkap apa saja,” White menuturkan kepada Thomson Reuters Foundation.

White, yang berlatar belakang pendidikan teknik, menghabiskan hampir satu tahun untuk merancang sensor pendeteksi suara menggunakan telepon genggam bekas, panel surya dan mikrofon. Sebelum akhirnya kembali ke Indonesia untuk menguji sistem tersebut.

Saat ini, Rainforest Connection, lembaga nirlaba milik White, telah merekam suara untuk melindungi lingkungan di 12 negara dengan pendanaan dari beberapa perusahaan teknologi terbesar di dunia, termasuk Google dan Huawei.

Aliran audio yang masuk, dari kawasan Amazon hingga Filipina, dianalisis oleh sistem kecerdasan buatan (AI) yang telah dilatih untuk mendeteksi informasi yang diinginkan, mulai dari suara penebangan pohon hingga nyanyian burung.

Jika terdeteksi suara gergaji mesin, sistem tersebut akan mengirimkan sinyal melalui aplikasi kepada petugas patroli setempat, yang kemudian dapat melakukan pengecekan apakah betul terjadi pembalakan di lapangan.

Sejak dipasang lebih dari setahun lalu, kelompok pengawas hutan lokal mengatakan sistem tersebut telah mempermudah tugas mereka dalam menindak tegas perambah hutan. Tindakan tegas ini juga mencakup penegakan hukum yang serius.

“[Pembalakan] telah sama sekali berhenti. Orang takut datang ke daerah ini,” tutur petugas patroli bernama Jasrialdi.

Petugas patroli hutan Medison berdiri di kaki pohon yang dipasangi sensor audio untuk mendeteksi suara gergaji mesin dari hutan sekitar di Provinsi Sumatra Barat, 8 Desember, 2020. Thomson Reuters Foundation/Harry Jacques

TINDAK TEGAS PEMBALAK

Sensor kanopi yang diperiksa White di Kabupaten Solok, Sumatra Barat, berjarak kurang dari satu jam (bila ditempuh dengan berjalan kaki) menembus hutan dari jalan yang mengarah ke Sirukam, desa yang sebagian besar penduduknya bermata pencarian bertani.

Hingga baru-baru ini, sekitar 200 dari 6.000 warga Sirukam memilih pekerjaan ilegal menebang pohon di hutan dengan upah yang lebih tinggi. Hal ini disampaikan Medison, kepala lembaga pengelola hutan masyarakat (LPHM) setempat.

Penebangan pohon untuk kepentingan komunitas, misalnya untuk membangun rumah, seringkali masih ditolerir di Indonesia, Medison menjelaskan. Namun, penebangan pohon untuk dijual termasuk tindakan melanggar hokum.

“Dulu tidak ada perlindungan di hutan,” ungkap kepala desa terpilih Romi Febriandi.

Arief Wijaya, manajer senior bidang iklim, kehutanan dan kelautan di World Resources Institute (WRI) di Indonesia, mengatakan bahwa kebanyakan deforestasi di Indonesia terjadi untuk pembukaan lahan untuk industri ekstraktif.

“Tetapi menangani isu pembalakan liar di tingkat komunitas juga penting,” katanya dalam sebuah wawancara daring.

Menurut Global Forest Watch, layanan pengawasan hutan berbasis satelit yang dioperasikan WRI, hutan primer Indonesia—yang dinilai penting sebagai pengikat karbon dioksida dan membantu meredam perubahan iklim—telah susut sebesar sepuluh persen selama periode antara 2002 hingga 2019, namun laju pemusnahan hutan menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Data WRI menunjukkan produksi konsesi penebangan hutan di Indonesia turun selama periode antara 2013 dan 2018. Namun, kayu yang diambil masyarakat dari hutan, seperti di Sirukam, melonjak lebih dari 50 persen selama rentang waktu yang sama.

Pemandangan hutan di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatra Barat, 12 Desember, 2020. Thomson Reuters Foundation/Harry Jacques

Di Sirukam, pendekatan lebih tegas untuk menegakkan larangan penebangan pohon di hutan telah menekan perdagangan kayu di kawasan tersebut. Hal itu dikatakan mantan pembalak hutan dan pemerintah setempat.

Tindakan tegas tersebut membuat Afriadi, bukan nama sebenarnya, beralih profesi dari pembalak hutan menjadi petani padi pada 2018.

Lelaki paruh baya ini, memakai topi dan berkemeja batik saat ditemui Thompson Reuters Foundation, bersedia memberikan pernyataan secara anonim. Afriadi mulai melakukan pembalakan hutan dua dekade yang lalu.

“Habis tidak ada pekerjaan lain,” katanya.

Dengan menggunakan gergaji mesin dan tali-temali, Afriadi mengangkut kayu gelondongan melintasi medan yang sulit. Pekerjaan berbahaya ini berujung pada kematian salah satu anggota kelompoknya akibat kecelakaan. Untuk jerih-payahnya tersebut, Afriadi diupah 1,5 juta rupiah per bulan.

Pendapatannya saat ini sebagai buruh tani jauh lebih kecil dibanding upahnya sebagai pembalak. Untuk menghidupi keluarganya, dia bergantung pada hasil bertani yang tidak seberapa.

Afriadi masih khawatir dia bakal ditangkap sebab pekerjaan masa lalunya sebagai pembalak. “Bekerja di ladang lebih baik karena [tidak ada] risiko itu,” katanya.

Pemandangan hutan di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatra Barat, 12 Desember, 2020. Thomson Reuters Foundation/Harry Jacques

‘SISTEM PERINGATAN DINI’

Selain melacak suara dari hutan, teknologi yang dikembangkan White juga digunakan untuk mendeteksi ikan paus yang memasuki jalur pelayaran di Vancouver, Kanada, dan suara tembakan di taman nasional di Yunani untuk menghentikan perburuan liar.

Kecerdasan buatannya (AI) telah melalui enam pembaruan, dan setiap pembaruannya memperdalam pemahaman AI tersebut tentang alam liar.

White mengatakan dia bisa mengidentifikasi apakah sistemnya tengah mendengar suara burung atau primata hanya dengan melihat sekilas pada spektrogram.

Sementara timnya melatih AI tersebut untuk mendeteksi lebih dari seratus spesies dengan akurat, White berharap sistem yang dikembangkan Rainforest Connection dapat menjadi “ladang emas” bagi para peneliti.

“Jika kami tidak mencatat penemuan besar di bidang ekologi dalam beberapa tahun ke depan, berarti ada yang salah dengan cara kerja kami,” dia menambahkan.

Sensor-sensor ini mengirim audio ke platform cloud dengan menggunakan jaringan telepon. Hal ini membatasi penggunaan teknologi ini hanya di kawasan dengan sinyal telepon yang memadai.

Untuk menanggulangi masalah tersebut, tim ini berencana memasang 32 sensor satelit di Brasil bulan depan. Selain itu, model sensor luring (offline) yang lebih murah—di mana rekaman audio yang tersimpan dapat diambil kemudian—saat ini tengah diproduksi dengan biaya sekitar 100 dollar AS.       

Kepala dinas kehutanan Sumatra Barat Yozarwardi Usama Putra mengatakan dia ingin mengembangkan proyek “sistem peringatan dini” ini agar provinsinya memiliki lebih dari 27 sensor.

Selain menindak tegas pembalak, Indonesia juga tengah berupaya mendorong usaha kehutanan non-kayu, Yozarwardi mengatakan. Pemerintah Sumatra Barat tengah membantu masyarakat mengakses peralatan untuk budidaya dan pengolahan beragam produk, mulai dari jamur tiram hingga kopi.

Tahun ini, Rainforest Connection, berencana mengumpulkan data untuk ulasan sejawat (peer review) dari Indonesia, Peru dan Romania, guna membuktikan bahwa sistem ini benar-benar membantu menekan pembalakan liar. White berharap hal ini dapat mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan penggunaan teknologi tersebut dalam skala besar.

Hanya saja, beberapa mantan pembalak mengatakan perlindungan hutan di Indonesia membuat mereka kesulitan mencari nafkah. Kesulitan mereka tersebut, hingga saat ini belum diperhatikan.

Hasil panen sawah Afriadi yang tidak seberapa luas hanya cukup untuk makan keluarganya. Afriadi dibayar 70.000 per hari sebagai buruh tani. Tetapi dalam sebulan, dia hanya diperkerjakan beberapa hari saja.

Tanpa pemasukan dari penebangan hutan, Afriadi khawatir dia tidak dapat memberi nafkah anak-anaknya.

“Saya sangat khawatir,” katanya.

 

Artikel terkait:

Indonesia's palm oil-powered 'green diesel' fuels threat to forests

Megaprojects flagged as Trojan horse to develop remaining rainforests

Illegal logger turns firefighter to defend Indonesia's peatlands

 

(Liputan oleh Harry Jacques; disunting oleh Jumana Farouky dan Megan Rowling. Dalam mengutip harap sebutkan Thomson Reuters Foundation, divisi nirlaba Thomson Reuters, yang mengangkat kehidupan orang-orang di berbagai penjuru dunia, yang berjuang untuk hidup bebas dan adil. Kunjungi kami di: http://news.trust.org/climate)

Our Standards: The Thomson Reuters Trust Principles.

-->